Setelah menyusuri Sungai Marang, yang berkelok-kelok membelah belantara hutan karst kawasan Sangkulirang-Mangkalihat, kami melanjutkan trekking menerobos lebat hutan hujan tropis untuk menuju mulut Gua Sungai.
Di mulut gua, kami dipersilahkan untuk duduk rehat, sembari mempersiapkan dan memeriksa kembali kelengkapan peralatan dan atribut sesuai standar kegiatan penelusuran gua. Dengan didampingi kawan-kawan pemandu dan juru pelihara, kegiatan luar ruang wisata minat khusus kawasan Sangkulirang-Mangkalihat yang telah memenuhi prosedur CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environment) ini dipimpin oleh DR.Pindi Setiawan, presiden Himpunan Kegiatan Speologi Indonesia, yang juga seorang peneliti gambar cadas, bersama dengan Nek Tewet, seorang juru pelihara senior (yang pertama kali melihat gambar cadas prasejarah di Gua Tewet tahun 1964). Konon katanya, ketika Nek Tewet singgah di mulut Gua Sungai ini pertama kali beberapa waktu silam, terdapat banyak Lungun atau peti mati kayu kuno disini.
Arahan DR.Pindi tentang kondisi dan petunjuk pelaksanaan menyusuri gua yang dengan seksama kami simak, perlahan menumbuhkan rasa penasaran plus tentunya kesiapan serta antusiasme memasuki gua yang memiliki sistem lorong sepanjang 2 kilometer.
Namanya banyak diperbincangkan, mulai dari kalangan akademisi, pemerhati budaya, pegiat aktifitas susur gua, arkeolog & antropolog, pemanjat, pejabat daerah, bahkan peneliti dari luar negeri. Bagi kami pelaku kegiatan luar ruang, ia seorang pelatih dunia penjelajahan dalam negeri seperti Wak Bongkeng, Kang Mamay Salim, Kang Galih Donikara, Om Lodi Korua, dan lainnya hingga si dewa api Kang Soni Oz.
Sejak awal perjumpaan beberapa tahun lalu dan di tiap obrolan dengannya, ia selalu berkisah dan mengajak untuk bertandang ke rumah keduanya yakni Sangkulirang. Hingga baru di medio November lalu, saya bersama Abah didik pemimpin redaksi natgeo indonesia berkesempatan sowan ke salah satu destinasi yang selalu mengusik pikiran kami, mengisi bucket list. Bukan untuk melancong, namun untuk belajar!
Dipimpin olehnya, ekspedisi kami di bentang alam karst Sangkulirang serasa duduk di bangku kuliah, melahap semester pendek menyimak paparan dan tuturan nya perihal gambar cadas prasejarah, gua karst, budaya, olahraga panjat, folklore lokal, evolusi, sejarah, satwa dunia lama, advokasi konservasi, hingga seni rupa. Sebuah privilese.
Hampir 30 tahun sudah ia habiskan waktunya bolak balik Bandung & Sangkulirang-Mangkalihat melakukan penelitian dan berkontribusi tak hanya melindungi, namun turut membantu masyarakat lokal melakukan pemetaan dan pengidentifikasian peninggalan prasejarah. Komitmen dan bakti yang didasari passion yang luar biasa. Hingga nama depannya disematkan di salah satu gua yang ditemukannya di kawasan ini pertengahan tahun 90an: Gua Pindi.
Indiana Jones lokal dicampur rasa Macgyver & Jared Diamond. Namun dengan rendah hati ia selalu berujar lebih nyaman cukup dengan panggilan “Kang” saja.
“Karst bukanlah batu, karst adalah tempat hidup.” Tutupnya.
Terima kasih Kang Pindi atas kesempatan menimba ilmu nya. Mari kita agendakan jadwal bimbingan kuliah selanjutnya.
Jasmudi, Pelatih!