Perhatikan lingkungan sekitar Anda. Dalam budaya kontemporer, media adalah aktor terbesar untuk mendeteksi apakah ekstremisme sedang meningkat atau tidak. Radikalisme telah tumbuh di masyarakat bahkan sebelum pemboman di Makassar pada 28 Maret.
Kata “radikalisme” berasal dari kata Latin “radix”, yang berarti “akar”. Sangat penting bagi sebuah ideologi atau anggota agama untuk dituntun ke “akar pemikiran atau keyakinan mereka”, jika tidak, mereka akan tetap berada di permukaan keyakinan yang sebenarnya.
Radikal, di sisi lain, cenderung menganggap segala sesuatu sebagai hitam atau putih saat mengejar perubahan sosial yang radikal.
Beberapa instruktur agama, atau seolah-olah guru agama, telah mengindoktrinasi dan mengekspos pengikut mereka pada doktrin yang mereka klaim sebagai satu-satunya kebenaran. Para ustadz tersebut bersikukuh bahwa ini adalah cara yang paling efisien untuk mengamalkan agama mereka. Pada kenyataannya, itu telah dipraktikkan selama ribuan tahun.
Mereka sering menyembunyikan motivasi ekonomi atau politik di balik kepercayaan mereka yang seolah-olah suci. Mereka bisa sangat populer dan hanya tertarik untuk mendapatkan popularitas; mereka mengabaikan ajaran agama yang sebenarnya, yang biasanya jauh lebih dalam dan membutuhkan lebih banyak pelatihan spiritual.
Ajaran agama yang benar, di sisi lain, akan membawa setiap orang, terutama kaum muda, pada integrasi yang lebih dalam dan lebih jujur antara individu dan komunitas sosial mereka dalam kehidupan. Inilah yang bisa kita pelajari dari mendiang mantan presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, seorang ulama Nahdlatul Ulama yang disegani, serta banyak instruktur penting lainnya di antara kita.
Ajaran dangkal ideologi mana pun mungkin menimbulkan tindakan yang lebih populer dengan cara yang jauh lebih mendasar, seperti perbuatan dan kata-kata kasar. Namun, ini tidak akan membantu orang dalam bertumbuh dalam agama mereka.
Kita harus menempuh jalan yang panjang dan banyak berbicara agar bisa lebih dekat satu sama lain dan dengan Tuhan. Seringkali kita harus saling mendukung, bahkan ketika kita berhubungan dengan individu yang berbeda agama, untuk benar-benar memahami kehendak Tuhan.
Saling bercakap-cakap, hidup bersama, saling percaya, saling percaya, bahkan saling mendoakan adalah cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan kita yang penuh kasih sekaligus meningkatkan kehidupan beragama kita.
Membunuh, membenci, dan melukai satu sama lain bukanlah cara untuk memuliakan Tuhan atau menjalankan sila pertama Pancasila, ideologi resmi kita: “ketuhanan yang Maha Esa.” Orang-orang religius sejati harus fokus pada saling mencintai dan menjalin pertemanan.