Utilitas abad kedua puluh satu adalah koneksi digital, yang meliputi teknologi nirkabel, kabel, dan satelit. Ini menggerakkan banyak bagian kota cerdas dan masa depan, serta elemen penting ekonomi dan masyarakat, seperti juara nasional dan unicorn/decacorn.
Selain memungkinkan kerja jarak jauh dan pembelajaran, e-commerce, dan komunikasi vital, konektivitas digital adalah instrumen penting dalam konteks respons dan pemulihan COVID-19.
Konektivitas sudah mendarah daging di setiap area kehidupan kita di kawasan Asia Pasifik. Indonesia juga merupakan pasar ponsel terbesar ketiga di kawasan ini, dengan perkiraan 3 miliar pelanggan pada tahun 2025. (GSMA Intelligence). Semua sektor dan perusahaan yang mengandalkan koneksi mungkin mendapat manfaat dari ekspansi ini.
Terlepas dari potensi yang disediakan koneksi, penerapan infrastruktur digital menghadirkan hambatan yang signifikan.
Pertama dan pertama, penerapan infrastruktur apa pun secara efektif, terutama infrastruktur digital, memerlukan strategi yang menyeluruh dan strategis. Tidak seperti sektor infrastruktur tradisional lainnya, infrastruktur digital memerlukan koordinasi di banyak bagian yang bergerak, mulai dari alokasi spektrum seluler – frekuensi radio yang memungkinkan konektivitas seluler – hingga keseimbangan hak pemilik tanah; kebijakan dan undang-undang untuk memastikan bahwa tidak seorang pun (dan tidak ada tempat) di negara ini yang dibiarkan tanpa akses ke – dan kepemilikan – infrastruktur digital; dan memastikan akses yang adil ke – dan kepemilikan – infrastruktur digital.
Kedua, menyediakan akses saja tidak cukup; kita memerlukan “koneksi yang bermakna”, yang didefinisikan oleh Alliance for Affordable Internet sebagai “akses internet yang sangat baik”. Individu dan perusahaan harus dapat berkembang pesat dalam ekonomi dan masyarakat digital kita yang berkembang pesat, yang mencakup memungkinkan kebutuhan bandwidth-intensif seperti kerja jarak jauh dan pembelajaran jarak jauh.
Kami juga perlu memahami dasar-dasarnya dengan benar: 5G mendapat banyak sorotan, tetapi pada tahun 2025, sekitar 56% dari semua pelanggan seluler di seluruh dunia – dan 80% dari semua pelanggan di Indonesia – akan tetap menggunakan 4G. Di Indonesia, 14% konsumen akan terus menggunakan 3G.
Akhirnya, biaya merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan. Baik biaya koneksi internet maupun biaya peralatan merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan. Indonesia sedang membuat kemajuan di bidang ini, dengan perusahaan dan produk unik di antaranya. Kesenjangan keuangan infrastruktur digital, di sisi lain, jauh lebih serius.